Tes

/ Sunday 5 November 2017 /

antokarief on Twitter

Taminah, penari Puro Mangkunegaran, Solo. Potret diambil saat Exposition Universelle Paris, 1889. Foto: @potretlawas #coloring

Ibu Ibu

/ Wednesday 25 January 2017 /

Sastra Terlibat Saraswati Dewi (Ruang Gramedia)

/ /


Dr. L.G. Saraswati Dewi adalah staf pengajar Departemen Ilmu Filsafat Universitas Indonesia. Selain mengajar, dosen yang lebih akrab disapa Yayas ini juga aktif terlibat dalam beberapa gerakan sosial, salah satunya adalah Tolak Reklamasi Bali.

Di masa jabatannya sebagai Kepala Program Studi Ilmu Filsafat, Yayas membuka mata kuliah Filsafat Sastra untuk pertama kalinya di Universitas Indonesia. Baru-baru ini, Yayas menerbitkan artikel ilmiah terkait dengan mata kuliah tersebut, yang berjudul Engaged Literature: An Examination of Social Issues Reflected in Contemporary Indonesian Literature.

Apa latar belakang Anda menulis artikel tentang Sastra Terlibat? 

Pemicunya adalah tulisan Henk Maier berjudul A many-headed Machine (2015). Menurut Maier, setelah Pram tidak ada lagi karya sastra yang mengangkat semangat perjuangan rakyat marjinal. Artikel saya bisa dibilang sanggahan atas klaim Maier itu.

Dalam prosesnya, saya berkonsultasi dengan pembimbing dan kolaborator saya, Dr. Marieke Bloembergen. Karena saya mengajar kelas Filsafat Sastra, saya ingin menulis artikel dengan nuansa filsafat sastra. Saya ingin menghadirkan napas spekulasi dan filsafat, tidak hanya ulasan deksriptif saja. Tidak hanya menganalisa secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual. Saya ingin membuat pemetaan baru yang dapat memberikan perspektif berbeda tentang sastra kita.

Untuk istilah engaged literature itu sendiri, adalah hasil diskusi dengan mentor saya Tommy F. Awuy. Kami melihat ada engagement atau keterlibatan antara karya si penulis dan fenomena sosial. Itulah sebabnya istilah “sastra terlibat” dirasa tepat untuk menggambarkan corak sastra yang mengangkat problematika sosial.

Selain itu, secara tidak langsung artikel saya menjadi kritik bagi industri buku yang lebih mengedepankan buku-buku motivasi dan teenlit. Padahal sastra kita sangat ‘kaya’, tetapi kok kurang diperhatikan.

Bagaimana Anda mengkurasi karya-karya untuk dijadikan objek penelitian Anda? 

Pertama-tama saya mengumpulkan karya-karya yang memiliki dampak penting dalam perkembangan sastra Indonesia. Setelah itu, saya fokus pada karya-karya yang lahir pascareformasi dan yang memiliki keterlibatan dengan fenomena sosial.

Karya-karya Ayu Utami, terutama Saman, jelas memiliki nilai kepeloporan. Ia membuka banyak pintu bagi penulis perempuan maupun laki-laki untuk dapat menuliskan topik-topik yang dulunya dianggap tabu. Tetapi, problematika sosial apa yang muncul saat ini? Kasus ’65 memang ramai diperbincangkan, tapi saya rasa isu tersebut sudah cukup terkemas dan terbahas. Jadi saya berusaha untuk merumuskan isu-isu yang lebih minor, yang terlewatkan oleh mayoritas.

Ternyata, isu-isu minor tersebut adalah isu kekerasan seksual, isu kebebasan ekspresi seksualitas dan agama, dan isu lingkungan hidup. Oleh sebab itu saya menganalisa secara kontekstual karya-karya Djenar Maesa Ayu, Esha Tegar Putra, Made Adyana Ole, Oka Rusmini, dan Okky Madasari.

Sebetulnya, banyak karya penulis lain yang ingin saya sertakan. Eka Kurniawan, salah satunya. Dalam novelnya, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, ada adegan seorang perempuan dengan gangguan kognitif diperkosa oleh polisi. Hal seperti itu, kan, yang sebetulnya ingin disembunyikan masyarakat kita. Sebuah problem yang “sebaiknya” diselesaikan di ruang tertutup, padahal yang benar justru sebaliknya. Tapi saya tidak jadi menggunakan karya Eka, atau yang lainnya, karena kendala teknis. Belum apa-apa, artikel saya sudah dipangkas menjadi 8000 karakter. Jadi benar-benar mesti fokus, deh.

Mengenai isu kebebasan ekspresi agama, mengapa tidak turut menyertakan karya Linda Christanty? 

Saya memilih karya-karya tersebut karena mereka memiliki semacam publikasi yang signifikan dan substansial. Buku Okky Madasari, misalnya, diterbitkan oleh penerbit besar.

Saya tentunya kepengin sekali bahas karya-karya Mbak Linda, tapi lagi-lagi terpentok urusan teknis. Sedikit sekali ruang untuk kurasi. Kelak saya akan menulis tentang karya-karya Linda Christanty. Inginnya, sih, secepatnya. Saya penggemar lama, sudah mengoleksi buku-bukunya sejak masih mahasiswa.

 Apa saja temuan-temuan Anda? 

Pertama-tama, soal isu kekerasan seksual. Dari karya Djenar saya menemukan sebuah cara menulis yang hanya bisa dilakukan olehnya. Sangat gamblang dan vulgar, namun juga ironis dan tragis. Setelah menelaah karyanya, saya menentang orang yang menyederhanakan karyanya sebagai sastra wangi belaka, apalagi yang bilang itu cuma membahas seks saja.

Di artikel itu saya mengutip kritikus yang juga kolega saya, Damhuri Muhamad. Djenar berbicara melalui tubuh yang dibahasakan. Maman S. Mahayana boleh berspekulasi soal apakah ini karya sastra yang vulgar. Tapi menurut saya ada pesan yang ingin disampaikan Djenar. Ada value yang ingin diperjuangkan.

Ternyata analisa saya benar. Saat saya menulis artikel ini, Djenar sedang pengambilan gambar film Nay. Film itu tentang penyintas kekerasan seksual—ia diperkosa oleh bapak tirinya. Nah, ini kan problem yang terjadi secara luas. Kita tahu kasus Yuyun, juga kasus pemerkosaan mahasiswi FIB UI oleh Sitok Srengenge, dan kasus-kasus lainnya yang menumpuk. Sayangnya wacana masyarakat belum diterjemahkan dengan baik ke bahasa hukum dan akademis, baru bahasa sastra yang berhasil. Karya Djenar memiliki keterlibatan dan keberpihakan pada korban dan penyintas.

Selanjutnya, soal isu hak sipil. Dari karya-karya Okky Madasari saya melihat adanya kompetisi hak sipil dan terbengkalainya hak minoritas, terutama dalam persoalan ekspresi seksualitas dan agama. Di buku Maryam dan Entrok, kental sekali wacana eskpresi LGBTIQ, dan penganut Ahmadiyah. Okky Madasari punya kemampuan untuk meramu wacana menjadi karya sastra yang bernas. Selain itu, corak dia sangat Pramoedya, sangat realis. Dialah salah satu sastrawan terpenting pada generasi saya.

Yang ketiga, soal lingkungan hidup. Puisi Oka Rusmini dengan sangat elok menggambarkan degradasi relasi manusia dan alam. Puisi Esha Tegar Putra terinspirasi oleh kasus asap di Riau dan sekitarnya. Kasus itu memakan korban jiwa, warga lokal banyak yang sakit. Istri Esha termasuk korban yang mengalami sesak napas. Saya melihat ada kemarahan di puisi itu, yang mampu menyulut empati pembaca.

Pada kesimpulan Anda menulis, “And if they appear to heavily focus on personal themes, we should recall that ‘the personal is political’, as an earlier generation of feminist taught us.” Menurut Anda pribadi, sejauh mana yang personal juga merupakan yang politis? 

Untuk lingkup Sastra Terlibat, karya tidak dapat dipisahkan dari penulisnya. Ide tentang “death of an author” tidak berlaku di sini, karena karya dengan penulisnya selalu berkaitan. Okky Madasari, Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Oka Rusmini—mereka menulis karya-karya yang terlibat, dan di kehidupan pribadinya mereka adalah aktivis. Mereka bergerak baik melalui karya maupun aktivisme.

Sebagaimana kita tak bisa melepaskan karya-karya Y. B. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer dari pribadi mereka. Baik dalam karyanya maupun kehidupan sehari-harinya mereka adalah pembangkang yang ingin menggedor hati orang untuk membuat perubahan.

Eka Kurniawan (Kompas)

/ Tuesday 24 January 2017 /


Sebelum dikenal sebagai seorang penulis, Eka Kurniawan menghabiskan masa kecil dan remajanya di Pangandaran. Ia lulus dari SMA PGRI Pangandaran, dan kemudian kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada—lulus pada 1999.

Ia kemudian menerbitkan novel bertajuk Cantik Itu Luka pada tahun 2002, yang tiga belas tahun kemudian menjadi bahan perbincangan setelah diterbitkan oleh New Directions.

Namun, jauh sebelum semuanya itu, Eka sebetulnya pernah terdaftar sebagai siswa di SMAN 1 Tasikmalaya.

Pada sebuah wawancara dengan Linda Christanty untuk majalah Dewi, ia mengaku tak pernah suka sekolah, dan bahkan pernah bolos masuk ke sekolah tersebut selama tiga bulan untuk mengelilingi Jawa. Ia harus pindah sekolah ke Pangandaran karena petualangannya itu.

Saya merasa ini fakta yang menarik dari seorang Eka Kurniawan. Novelnya Cantik Itu Luka memang penuh dengan pengembaraan. Salah satu karakternya Kliwon, karena patah hati, hidup menjadi gelandangan dan mengais sampah untuk berebut makanan dengan anjing.

Pada sebuah wawancara santai di kafe Javaro, Palmerah, saya berkesempatan untuk menggali lebih lanjut mengenai pengalamannya ini.

Gramedia.com: Saya baca dari wawancara Anda dengan Linda Christanty, bahwa Anda pernah kabur dari rumah dan berkelana mengelilingi Jawa.

Eka Kurniawan (tertawa) Ada beberapa hal yang bisa saya ingat soal itu, tapi ada juga yang saya tidak ingat lagi. Itu terjadi ketika saya kelas satu SMA. Alasan tepatnya sendiri saya sudah lupa. Mungkin krisis remaja saja. Saya ingin sekali melihat hal-hal lain. Saya hidup di kota kecil, meskipun juga not bad sih. Yang saya suka simpel: saya suka baca buku, saya suka dengar musik. Enggak terlalu pengin banyak hal. Tapi saat itu saya juga ingin melihat hal-hal lain, hal-hal baru, dan saya rasa sih, pada tingkat-tingkat tertentu saya merasa kehidupan remaja saya sangat membosankan. (tertawa)

G: Anda kabur ke mana?

EK: Sebenarnya tidak berniat kabur sih. Saya hanya, kalau istilah anak sekarang, backpacker-an. Saya niat pergi dan balik lagi, cuma enggak bilang saja. Karena kalau bilang (ke orang tua), tentu enggak akan boleh.

G: Seno Gumira Ajidarma pernah melakukan hal yang sama. Apakah ini salah satu hal yang menginspirasi?

EK: Oh ya? Jaman itu saya bahkan belum tahu Seno Gumira Ajidarma. (tertawa) Itu terjadi tahun 1991, tetapi barangkali ada hubungannya juga dengan cerita silat. Saya suka banget cerita silat, dan cerita-cerita di mana anak-anak muda pergi bertualang. Lima Sekawan. Buku-buku Karl May. Kalau dari Indonesia, Balada Si Roy-nya Gol A Gong. Sebenarnya niat saya tidak besar seperti ingin melihat dunia. Sederhana saja, ingin keluar dari kota kecil tempat saya tinggal.

G: Ketika itu, bagaimana Anda mencukupi kebutuhan sehari-hari Anda?

EK: Saya pergi selama tiga bulan. Untuk mencukupi kebutuhan sebenarnya sederhana. Pertama, saya selalu diberikan uang jajan oleh orang tua selama sekolah. Dan saya bukan anak yang gemar belanja—saya cuma membeli buku dan kaset—sehingga uangnya bisa saya simpan. Teman-teman saya punya sepeda motor dan uangnya habis beli bensin—saya enggak. Saya pakai sepeda atau naik angkutan umum. Mereka juga suka bergerombol main ding-dong—biasanya ada dibawah bioskop. Saya tidak terobsesi dengan itu. Jadi, ketika saya pergi, uangnya cukup—bisa bertahan dengan yang saya punya.

Di jalan saya juga berpikir bagaimana saya bisa enggak bayar bus, misalnya saya naik hitchiking (menumpang mobil yang lewat), atau naik pick-up sayuran dan sopirnya saya kasih rokok. Atau naik kereta tetapi enggak bayar tiket. Jaman itu kan masih memungkinkan. Saya kucing-kucingan saja dengan kondektur keretanya.

G: Di mana Anda tidur?

EK: Macam-macam sih. Ada yang tidur di perjalanan, tidur di terminal bus—biasanya terminal bus yang agak rame, yang paling tidak dua puluh empat jam ada orang; tergeletak saja di sana. Atau di masjid. Paling sering sih di masjid. Saat itu ujung perjalanan saya adalah Tangerang. Saya baru pertama ke Jakarta. Saya tersasar naik bus Jakarta, dan tiba-tiba sampai di Tangerang. Kalau sekarang kan itu hitungannya masih dekat, masih Jabodetabek. Kalau dulu kan, wah, sudah keluar kota nih. Waktu itu di terminal. Di terminal itu ada masjid, tidur deh di masjid. Esoknya balik lagi ke Jakarta. Hanya sekali saya ingat menginap di losmen. Di Jawa Tengah.

Kata Mutiara Pramoedya Ananta Toer

/ Thursday 19 January 2017 /

“Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya. Kan begitu Tuan Jenderal?”

“Tanpa wanita takkan ada bangsa manusia. Tanpa bangsa manusia takkan ada yang memuji kebesaranMu. Semua puji-pujian untukMu dimungkinkan hanya oleh titik darah, keringat dan erang kesakitan wanita yang sobek bagian badannya karena melahirkan kehidupan.”

“Apakah sebangsamu akan kau biarkan terbungkuk-bungkuk dalam ketidaktahuannya? Siapa bakal memulai kalau bukan kau?”

“Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian.”

“Dan doa-doa itu, apa artinya dia kalau bukan gerakan dari minus ke plus? Tahu kau apa artinya doa? Permohonan pada Tuhan, gerakan dari yang paling minus pada yang paling plus.”

“Berbahagialah mereka yang bodoh, karena mereka kurang menderita. Berbahagialah juga kanak-kanak yang belum membutuhkan pengetahuan untuk dapat mengerti.”

“Hati bersih dan kemauan baik, dan kemampuan melaksanakannya, justru yang dicari para bandit. Hati bersih dan kemauan baik, dan kemampuan melaksanakannya belum mencukupi, Nyo, Nak. Belum, masih jauh. Dalam kenyataannya sampai sekarang ini apa kurang cukup banyak orang menggunakan Jesus untuk menindas? Waspadalah.”

Salam Kenal

/ Thursday 27 February 2014 /
Hai…
Para pencinta blog, perkenalkan nama saya Leonardus Ragil Pamungkas. Saya sering dipanggil dengan sebutan Leo. Saya seorang mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Saya dari prodi Matematika – S1. Ini adalah post pertama saya, nantikan post dari saya selanjutnya ya di blog ini. Saya berharap bisa memberikan informasi – informasi yang menarik serta berguna dari saya.
Terima Kasih
 
Copyright © 2010 pecinta indonesia, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger